Apabila manusia kebanyakan mempunyai
kegemaran menonton film, entah itu di sebuah gedung yang terlalu gelap dan
dingin dengan layar lebar serta sorot cahayanya atau hanya di kamar sepetaknya
dengan sebuah piringan seharga 7.000 perak lengkap dengan pemutarnya yang tanpa
nama, sama halnya dengan dia. Hampir semua orang mengagumi sosoknya, ya hampir,
selain dia sendiri yang sama sekali tidak kagum pada dirinya yang telah
mempunyai satu ruangan khusus di tempat tinggalnya untuk berbagai piala
penghargaan atas karyanya. Dia adalah bagian terpenting yang membuat para
manusia itu menggemari film, dia adalah seorang yang selalu mengkomentari
sebuah film atau mereka namakan kritikus film yang namanya lebih dikenal
daripada seorang pemimpin negara di sebuah negeri kaya raya yang terdiri dari
pulau-pulau dengan nama ganjil.
Sudah bertahun-tahun dia
menulis, berkata, atau mengetik rangkaian kata untuk hanya memuji atau
mencemooh sebuah film. Anehnya, bertahun-tahun pula orang rela mengupahinya
dengan nominal yang tak masuk akal hanya untuk mendapatkan kritikannya. Dengan
kekayaannya, dia memutuskan untuk tidak mempunyai sebuah rumah. Mungkin memang
benar adanya pendapat yang mengatakan bahwa seorang seniman memiliki sifat yang
nyentrik, itupun apabila dia bisa dikatakan sebagai seniman. Dalam setahun, dia
bisa berpindah-pindah tempat tinggal hingga tak terhitung lagi dengan jari.
Suatu kali pernah ditanya akan kebiasaannya ini dan dengan lugas dia menjawab
“karena saya tidak pernah tahu apa yang mereka sebut rumah, bagi saya rumah itu
tidak pernah ada”
Dengan segala keahliannya menilai
sebuah film, tidak ada yang tahu akan rahasia terdalamnya. Rahasia yang tidak
pernah diceritakannya saat diundang ke sebuah acara atau saat duduk bersama
sahabatnya dengan kopi yang tersaji di meja, karena sebenarnya dia tidak pernah
mempunyai sahabat. Selain tidak tahu rumah itu apa, sahabat adalah kata yang
dia tidak ingin tahu artinya apa. Rahasia itu dia simpan sendiri, bukannya
takut apabila yang lain tahu, namun dialah sendiri yang tak mau mengakuinya.
Dari ribuan film yang mendapatkan komentarnya, tak ada satupun yang ditontonnya
dari awal sampai akhir. Dia hanya menonton bagian trailernya, bagian 5 menit awal, dan 5 menit akhir. Itu yang selama
ini dia lakukan, sama halnya dengan prinsip hidupnya yang tidak pernah ingin
mengetahui suatu fakta secara menyeluruh, hanya sebagian.
Rasanya baru 31 hari di bulan Maret ini
dia menempati tempat tinggalnya sekarang, namun dia telah muak akan isi dan
aroma seluruh ruangannya. Saat itu juga dia memutuskan untuk berpindah lagi, ya
untuk kesekian kalinya. Dia memulai mencari tempat tinggal melalui jaringan
langganannya dan esoknya segera meninggalkan ruangan yang membuatnya mual itu.
Saat dia dibangunkan oleh salah satu
pekerjanya yang selalu dengan senang hati membawanya ke tujuan yang dia
inginkan, dia mengamati tempat tinggalnya yang baru. Ada perasaan aneh yang
terlalu mendadak saat matanya belum sempurna membuka. Ini hanyalah bangunan
yang sederhana, terlalu sederhana apabila dibandingkan dengan tempat tinggalnya
sebelum-sebelumnya. Namun mengapa dia segera ingin masuk dan melihat
ruangan-ruangan di dalamnya, diapun tak tahu.
Saat dia bergegas membuka gerbang,
ternyata ada sambut dari seorang wanita dan anak laki-laki kecil. Dengan agak
kaku, dia menjawab sambut itu karena dia tak biasa menerima orang lain di
tempat tinggalnya. Wanita dan anak tersebut memiliki senyum yang semakin
membuatnya merasa aneh, senyum yang tidak pernah dia lihat dari orang-orang
yang dia temui sebelumnya. Bahkan dia tak enggan untuk membalas mereka dengan
senyumnya, yang dia rasa lebih menyerupai seringai karena sudah sejak lama dia
tak melatih bibirnya untuk menyunggingkan sebuah senyuman.
Tempat tinggal barunya ini berdampingan
dengan rumah sang wanita, dengan satu halaman dan gerbang yang sama, dengan
bangunan yang hanya dipisahkan oleh jarak sedepa. Sesungguhnya dia sangat
keberatan dengan kondisi ini, tapi untuk kesekian kalinya dia memakluminya.
Sudah lebih dari seminggu sejak pertemuannya dengan wanita dan anak laki-laki
itu, namun dia terus memikirkan mereka. Dan sudah lebih dari seminggu pula dia
tidak pernah keluar dari tempat tinggal barunya ini.
Saat itu hari sudah senja, waktu
terbaik baginya untuk mulai menuangkan komentar baik atau kritik pedasnya akan
sebuah film. Dia memutuskan untuk duduk di teras depan dengan membawa peralatan
kerjanya. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menuntaskan pekerjaannya ini,
hanya 3 menit untuk trailer, 5 menit untuk bagian awal film, dan 5 menit untuk
bagian akhirnya, serta paling lama 10 menit untuk menumpahkan pendapatnya dalam
sebuah tulisan yang akan dibaca oleh jutaan penggemar film.
Dia telah duduk dan siap memulai apa yang biasanya dilakukannya, namun secara tiba-tiba si anak laki-laki itu menyapa dari teras sebelah dan berlari menghampirinya. Bagaikan ledakan senapan tentara, anak itu terus mengoceh bercerita apa saja yang telah dia lakukan hari ini dan serta merta duduk di pangkuannya. Dia sangat murka dan melemparkan anak itu dari pangkuannya, itu yang akan dia lakukan apabila hal seperti ini terjadi, namun lagi-lagi dengan perasaan canggung dan (mungkin) senang, dia memperbolehkan anak itu terus duduk di pangkuannya dan mendengarkan secara seksama kata-kata yang menggebu-gebu dari sang anak. Dia kembali tersenyum, senyum yang jauh lebih baik apabila dibandingkan dengan senyum pertamanya seminggu lebih yang lalu.
Belum selesai cerita sang anak, tiba-tiba terdengar suara lembut dari seorang wanita yang entah sejak kapan berdiri di samping mereka dengan nampan yang diatasnya terdiri dari 3 cangkir, 1 teko, dan 1 piring berisi kudapan dengan aroma yang harum seperti baru saja dipanggang. Wanita itu kemudian menuangkan teh ke cangkir yang ada dan mempersilahkan dia untuk meminumnya. Tentu saja si anak laki-laki tadi masih terus bercerita sembari mengunyah kudapan yang ada, yang dilanjutkan dengan permintaan maaf dari sang wanita karena kelakuan anaknya yang sangat gemar bercerita. Sungguh ini merupakan distorsi terbesar selama hidupnya saat dia ingin menyelesaikan pekerjaannya, tapi kembali dia hanya bisa menikmati setiap detik bersama si wanita dan anaknya itu. Dan sungguh, ini adalah rasa teh dan kudapan terbaik yang pernah dia nikmati.
Si wanita selanjutnya bertanya apa yang sedang dia lakukan dengan berbagai alat-alat yang ada di meja tersebut dan dia menjelaskan mengenai pekerjaannya. Secara bersamaan si wanita dan anak laki-laki itu kagum dan bertanya apakah boleh mereka menemaninya untuk menonton sebelum dia menilai apa yang ada di film itu. Tanpa berfikir dia meng-iya-kan, mungkin memang dia sudah tidak mampu berfikir lagi saat ini karena tidak pernah sebelumnya dia bekerja dan ditemani oleh orang lain. Lalu mereka menikmati film itu bersama, 128 menit tak terasa saat terlihat di layar terdapat tulisan Fin. Dengan penuh semangat si anak bertepuk tangan yang diikuti dengan senyum dari dia dan si wanita.
Tak lama setelah itu si wanita berpamitan karena tak terasa senja telah tiada dan berterima kasih karena telah mengizinkan untuk menonton sebuah film bersama si anak laki-lakinya. Si anak tersebut kemudian meraih tangan dia dan menciumnya lalu mengucap salam perpisahan. Tinggallah dia sendiri, duduk termenung mengembalikan ingatannya akan 128 menit terbaik dalam hidupnya. Ini adalah film pertama yang dia saksikan dari awal sampai akhir. Ini adalah kali pertamanya dia menikmati teh dan kudapan yang luar biasa lezatnya. Ini pertama kalinya dia merasa tidak akan pernah bosan dan muak akan tempat tinggalnya. Ini pertama kalinya dia merasa nyaman dengan 2 orang sekaligus. Dan ini pertama kalinya dia berucap syukur kepada sang penulis takdir. Akhirnya, dia mempunyai sebuah rumah dan 2 orang sahabat di dalam hidupnya. Fin.
-RPAA, Lubuklinggau 17032013-
No comments:
Post a Comment